Matematika adalah sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian. Namun sayangnya, beberapa orang mengaku dirinya tidak pandai ber-Matematika atau Matematika adalah salah satu kelemahannya. Padahal, setiap orang dilahirkan dengan kemampuan Matematika.
Begitupun anak-anak, ada beberapa anak yang menyatakan dirinya tidak suka Matematika. Bagi mereka, Matematika adalah sesuatu yang sulit. Tidak jarang pula anak-anak menunjukkan tanda-tanda kesulitan ber-Matematika seperti berikut ini:
- Menarik diri. Anak mungkin lebih memilih menyendiri ketika tiba waktunya untuk belajar Matematika, atau anak akan menghindar dari orang tua ketika diajak belajar.
- Takut dan cemas. Disebut juga math anxiety. Math anxiety adalah reaksi emosional yang timbul saat berhadapan dengan Matematika.
- Menghindari tugas. Anak mulai sering ‘kabur’ dari tugas, pekerjaan rumahnya tidak dikerjakan. Lama-kelamaan semakin sering menghindar.
- Bersikap agresif. Anak mungkin akan merengek ketika dihadapkan dengan Matematika, bahkan ada yang sampai merobek lembar soal.
- Timbul gejala psikosomatis. Gejala psikosomatis adalah keluhan fisik yang timbul karena pengaruh pikiran atau emosi. Beberapa anak bisa mengalami hal ini. Ada yang mengeluh sakit perut, ada juga yang mengeluh pusing.
Kesulitan dalam ber-Matematika salah satunya timbul karena anak belum mengembangkan asosiasi positif dengan Matematika sebelum sekolah. Maka dari itu, cara untuk membantu anak-anak adalah dengan mengembangkan asosiasi positif itu sejak sebelum mereka memasuki masa sekolah. Lalu, apa saja yang bisa Bapak/Ibu lakukan untuk membantunya?
1. Bermain Permainan Matematika
Anak-anak perlu mengetahui bahwa kesehariannya sangat dekat dengan Matematika, dan permainan Matematika adalah sarana yang baik untuk mengenalkan Matematika kontekstual. Bermain juga merupakan salah satu cara penanaman konsep Matematika yang efektif untuk anak-anak.
Ada banyak permainan yang bisa dilakukan untuk mempelajari Matematika, dari mulai permainan tradisional, kegiatan outdoor, hingga board game.
2. Belajar Bersama
Alih-alih menyuruh anak belajar Matematika, akan lebih baik apabila Bapak/Ibu membersamai anak ketika belajar. Saat orang tua terlibat dalam proses belajar anak, maka anak akan merasa apa yang dilakukannya adalah hal penting. Apalagi jika dilengkapi dengan permainan Matematika, proses pembelajaran akan menjadi momen kebersamaan yang berkesan bagi anak.
3. Intervensi Lebih Awal
Lakukan observasi dari awal. Jika tanda-tanda anak kesulitan Matematika mulai terlihat, maka intervensi harus dilakukan sedini mungkin. Semakin awal intervensi dilakukan, semakin mencegah anak telanjur benar-benar tidak suka dengan Matematika. Bapak/Ibu juga bisa meminta bantuan ahli jika diperlukan.
4. Gunakan Material Konkret
Material konkret diperlukan sebab anak-anak masih mengalami fase operasional konkret sampai usia 12 tahun. Material konkret menjadi jembatan antara persoalan di kehidupan sehari-hari dengan apa yang dipelajari dalam Matematika.
Material konkret memungkinkan adanya control of error, sehingga anak belajar mengoreksi dirinya sendiri. Mengoreksi diri sendiri lebih baik ketimbang dikoreksi orang lain sebab anak tidak merasa dihakimi.
Setiap anak berhak menjadi orang yang mahir ber-Matematika. Peran orang tua sangat besar dalam mewujudkannya. Kemampuan Matematika yang sudah ada sejak lahir perlu disambut sedini mungkin dengan cara-cara yang tepat agar anak-anak bisa mengembangkan asosiasi positif dengan Matematika sebelum mulai bersekolah.
Baca Juga:
Cara Belajar Matematika Seperti Ini Ternyata Tidak Disukai Anak, Lho
Seperti Apakah Pendidikan Matematika yang Lebih Baik Itu?
Matematika Bukan Bakat, Lakukan Hal Ini untuk Mengembangkan Potensi Matematika Anak