Mengapa Matematika Begitu Sulit bagi Beberapa Anak? Mungkin Ini Penyebabnya

Matematika selalu ada di dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dari mulai menghitung uang, menghitung belanjaan, sampai memperkirakan waktu tempuh, semuanya membutuhkan Matematika. Oleh karena itu, Matematika sebaiknya dipahami sejak masa kanak-kanak.

Meski demikian, banyak anak yang kurang memahami, tidak suka, bahkan takut dengan Matematika. Mengapa bisa begitu, ya? Apa benar karena Matematika itu membutuhkan bakat? Faktanya, beberapa hal berikut ini mungkin menjadi penyebabnya:

1. Diskalkulia

Diskalkulia adalah sebuah kondisi di mana anak mengalami kesulitan ber-Matematika secara permanen. Beberapa tandanya antara lain kesulitan mengenal simbol, kesulitan melakukan estimasi beragam ukuran, dan kesulitan dengan berhitung secara mental.

Studi memperkirakan ada 3-7 persen orang dewasa dan anak-anak di dunia yang mengidap diskalkulia. Jika terdapat tanda-tanda tersebut pada anak, kita bisa mengkonsultasikannya pada ahli untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, agar kedepannya dapat menyusun strategi pembelajaran Matematika yang tepat pula bagi anak.

2. Tidak Kontekstual

Salah satu tujuan pembelajaran Matematika adalah agar anak dapat menggunakan Matematika dan pola pikir Matematika dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seringkali kita lupa memperkenalkan pentingnya Matematika untuk kehidupan sehari-hari.

Cek kembali apakah kita sudah memberikan kesempatan bagi anak untuk memahami Matematika keseharian. Apakah kita pernah menjelaskan bahwa bangun datar itu memiliki luas tapi tidak memiliki volume? Atau pernahkah kita memberi tahu bahwa bernyanyi itu membutuhkan keteraturan?

Baca Juga: Pentingnya Matematika untuk Kehidupan Sehari-hari dan Beberapa Kegiatan Practical Life untuk Melatih Kemampuannya pada Anak

3. Hanya Menghafal Rumus

Hafalan rumus menjadi kurang bermakna tanpa pemahaman konsep. Matematika adalah sebuah bahasa yang disepakati masyarakat dunia dan digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Jika rumus-rumus yang diberikan tidak ada kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi anak, ia akan merasa belajar Matematika itu sia-sia.

Logika berpikir Matematika dan kemampuan problem solving lebih penting daripada hafalan rumus. Libatkan anak dalam perhitungan sederhana dalam kegiatan sehari-hari, misalnya, menghitung jumlah barang yang akan dibawa, atau menghitung lamanya perjalanan ke suatu tempat.

4. Tidak Konkret

Anak-anak, terutama usia 7-11 tahun, sedang berada di fase perkembangan kognitif berupa tahap operasional konkret. Pada usia tersebut, anak sudah cukup mampu untuk berpikir logis, tapi hanya mampu menerapkannya pada objek nyata.

Ketiadaan material konkret akan menyulitkan anak untuk membuat gambaran nyata dari konsep-konsep yang masih abstrak. Itulah yang mungkin dapat menyebabkan anak kebingungan dalam menyelesaikan permasalahan matematis.

5. Orang Tua Juga Tidak Suka Matematika

Orang tua memberikan peranan besar dalam perkembangan kemampuan ber-Matematika anak. Ketidaksukaan orang tua terhadap Matematika akan memengaruhi cara mengajarkan Matematika pada anak.

Vibrasi negatif akan membuat anak merasa tertekan saat belajar Matematika, sebaliknya, vibrasi positif akan menghadirkan situasi belajar yang menyenangkan, sehingga anak bisa menerima pelajaran dengan lebih baik.

Ternyata, Matematika bukanlah pelajaran yang sulit atau menakutkan. Ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat pemahaman anak mengenai Matematika. Jika dihadirkan dengan cara yang tepat, kontekstual, dan konkret, semua bisa mahir Matematika.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *